TEST: Tempat Tepat Memperjuangkan Mimpi

TEST English School - boston
Memiliki mimpi merupakan sebuah kemewahan yang dapat menjadi milik setiap insan. Siapa pun memiliki hak untuk menentukan mimpinya dan kemudian membuka jalan guna mewujudkan mimpi tersebut. Bila mimpi ialah sebuah kemewahan, maka mimpi memberikan syarat-syarat yang tidak biasa bagi pribadi-pribadi yang menginginkannya sebagai bagian dari kehidupan mereka. Hal ini tak terkecuali berlaku sama bagi setiap anak bangsa yang bermimpi untuk belajar pada tingkat lanjut baik di dalam maupun luar negeri.

Ada tiga faktor yang dapat membantu seseorang untuk memiliki dan mewujudkan mimpinya: Pemahaman akan sifat mewah mimpi, Bakat, dan Sikap. Saya sendiri meyakini bahwa tiga faktor di atas benar-benar penting dalam membantu seseorang memiliki dan mewujudkan mimpi menempuh studi lanjut melalui bantuan beasiswa. Sebab, ketiga faktor itu dapat menolong seseorang pejuang mimpi untuk melatih empati, merefleksikan diri, membuka diri bagi jaringan, mencari komunitas yang tepat, mengenali bakat dan membentuk sikap. Namun, ketiga faktor tersebut tidak dapat lepas dari peranan lingkungan, komunitas, atau atmosfer yang memang memberi perhatian terhadapnya. Dengan kata lain, memahami dan merealisasikan ketiga faktor tersebut di dalam sebuah komunitas yang tepat ialah pemberi jalan bagi hadirnya dan terwujudnya mimpi.

Kemewahan Mimpi: Bukan Egosentrisme & Isolasi Diri

John Lennon, salah seorang pentolan grup musik the Beatles, pernah menyatakan bahwa “a dream you dream alone is only a dream, a dream you dream together is a reality.” Apa maksud kalimat bijaksana tersebut? Melalui penafsiran yang melepas dari kalimat Lennon dari konteksnya, saya memandang bahwa Lennon ingin mendorong sikap yang melihat mimpi dalam dua spektrum utama. 

Pertama, mimpi bukanlah sebuah realisasi kecenderungan egosentris. Aku yang memiliki mimpi ialah Aku yang juga melihat kehadiran Orang Lain dalam mimpiku. Kesadaran membawa serta orang lain dalam mimpi adalah sebuah keadaan yang memungkinkan sang pemimpi untuk tidak menempatkan dirinya sebagai ukuran segala-galanya dari mimpinya. Sebaliknya, gagasan ini membuka ruang sebesar-besarnya terhadap pemahaman tentang bagaimana mimpiku akan ikut membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang di sekitarku.

Kedua, mimpi juga membicarakan soal sosiobilitas manusia. Penggalan kalimat terakhir Lennon menyebut “a dream you dream together is a reality.” Secara eksplisit kalimat ini memuat sebuah nuansa sosiobilitas dari mimpi yang menuturkan potensi mimpi untuk mendorong kebersamaan yang mengaktualisasikan harapan menjadi kenyataan. Sederhananya, memiliki mimpi ialah juga sikap untuk mengembangkan kerja sama, mendorong kerendah-hatian dalam belajar dari orang lain, dan kesaling-tergantungan antara satu sama lain guna mengubah hasrat bersama menjadi realitas. Dengan demikian, para pemimpi tidak seharusnya menolak peran aktif bersinergi bersama Orang Lain untuk memiliki dan mewujudkan mimpi jika tidak mimpi hanya akan sekadar menjadi bunga-bunga ilusi. Kini tampak jelas bahwa hal yang menjadikan mimpi sebagai sebuah realitas yang mempunyai sifat mewah ialah karena ia memiliki dimensi etis yaitu tanggung-jawab terhadap kebaikan bersama inter-subjek, serta memiliki dorongan sosiobilitas yang membuat seorang pemimpi tidak dapat mencapai tujuannya tanpa adanya kesaling-tergantungan dengan Orang Lain. 

Apa akibat dari sifat mewah mimpi yang seperti demikian? Pada tataran yang paling mendasar, seorang pejuang mimpi perlu sadar bahwa kepekaan etis bukan hal yang mudah muncul. Dalam banyak kasus, kepekaan etis justru memerlukan latihan dan refleksi mendalam atas kehidupan. Secara praktis, pemimpi tidak mungkin mengasah kepekaan etisnya bila tidak mau menyentuh langsung formasi biotik dan abiotik yang menyusun keseharian kehidupannya. Malahan, kerap kali seorang pemimpi justru baru menemukan siapa dirinya yang paling orisinal ketika ia mau mengenakan sepatu Orang Lain. Jadi, akibat pertama dari sifat mewah mimpi ialah menuntut seorang pemimpi untuk mengasah kepekaan etisnya melalui refleksi dan empati manakala menyentuh langsung realitas keseharian di sekelilingnya.

Lebih dari itu, akibat selanjutnya daripada sifat mewah mimpi adalah menjadikan seseorang untuk tidak dapat memiliki dan apalagi mewujudkan mimpi hanya dalam isolasi diri (sikap soliter). Seorang pemimpi harus menjumpai pemimpi yang lain dan membina jaringan kerja sama yang saling mendorong, menguatkan, membantu, dan menopang. Perjumpaan semacam itu sangat penting oleh karena mimpi tidak hanya membawa imajinasi yang memiliki efek opium, namun juga menghadirkan realitas yang dapat membuat pemimpi babak-belur. Artinya, memiliki mimpi itu tidak sama dengan menikmati dan menenggelamkan diri dalam delusi, khayalan yang memalsukan realitas, namun justru mewajibkan perjuangan giat, disiplin diri, dan pengorbanan banyak hal.

Berburu Mimpi mendapatkan Beasiswa: Mengenali Bakat dan Membentuk Sikap

Belakangan ini, seiring semakin terkenalnya lembaga donor seperti LPDP dan/ atau sponsor-sponsor Pemerintah Asing yang menyediakan dana studi lanjut, muncul gelombang besar pencari beasiswa. Umumnya, kelompok ini memiliki keinginan yang sederhana: melamar beasiswa lalu melanjutkan studi entah di dalam negeri atau pun luar negeri. Tentu tidak ada yang dapat melarang bagi para pencari beasiswa untuk menuliskan cerita mimpi mendapatkan beasiswa. Akan tetapi, begitu keinginan itu menjadi mimpi, perubahan besar akan muncul yang memaksa setiap pencari beasiswa untuk memberi perhatian tidak hanya pada faktor sifat mewah mimpi melainkan juga aspek-aspek penting lainnya.

Seorang mahasiswa doktoral di Boston College, Hans A. Harmakaputra, mengingatkan bahwa dalam menentukan mimpi akan masa depan, seseorang perlu memperhatikan dua aspek yaitu Bakat (Aptitude) dan Sikap (Attitude). Sebab, hubungan antara sifat mewah mimpi yang mengaktifkan refleksi, empati dan semangat berjejaring harus membawa serta juga pengenalan bakat dan pembentukan sikap seseorang. Hubungan antara ketiga faktor ini akan sangat menentukan bagaimana seorang pemimpi memahami kesesuaian kepribadiannya dengan mimpi yang ia hasrati dan sikap seperti apa yang harus ia miliki dalam mencapai mimpinya.

Melupakan satu di antara tiga faktor (sifat mewah mimpi, bakat dan sikap) dalam upaya untuk memiliki dan mewujudkan mimpi niscaya hanya akan membawa masalah besar. Pasalnya, meski misalnya seorang pejuang beasiswa telah memiliki kepekaan etis, mempunyai komunitas pemimpi yang serius saling menopang, serta telah menunjukkan sikap yang memperlihatkan komitmen etis serta kerja keras mencapai mimpi untuk studi lanjut tetapi tidak membawa serta kesadaran tentang bakat diri maka dua faktor yang penting itu justru tidak dapat membuka pintu untuk mewujudkan mimpinya. Pejuang beasiswa yang ingin studi lanjut di bidang Pendidikan Usia Dini misalnya tidak hanya dapat maju dengan modal ingin mengabdi dan mengembangkan pendidikan PAUD yang baik bagi Indonesia. Namun, ia juga harus pertama-tama jujur kepada dirinya sendiri, yaitu apakah yang bersangkutan memang memiliki bakat untuk mempelajari bidang itu sebagai sebuah ziarah Akademik dan/ atau Profesional atau tidak.

Joe - TEST English School
Menemukan Tempat yang Tepat

Menemukan tempat yang menyediakan atmosfer positif dalam menginternalkan sifat mewah mimpi ke dalam diri pemimpi serta menghubungkannya kepada bakat dan sikap adalah keniscayaan. Saya sendiri secara pribadi mendapatkan tempat seperti itu di Test English School, Kampung Inggris, Pare-Kediri. 

Kampung Inggris adalah tempat legendaris. Di sana banyak talenta mengasah diri untuk mendapatkan jalan menuju mimpi dan merealisasikan harapan mereka. Meski demikian, saya harus mengakui bahwa pengalaman saya di sana terbatas sehingga tidak dapat memberikan komentar terhadap lembaga kursus lain. Selama di Pare, saya hanya mendaftar di Test English School untuk lima bulan waktu belajar. Namun, lembaga ini memiliki pengaruh yang mendalam dan kuat dalam perjalanan saya memiliki dan mewujudkan mimpi melanjutkan studi ke Amerika Serikat.

Di Test English School, atmosfer pejuang mimpi yang berburu beasiswa menjadi situasi sehari-hari. Artinya, mau tidak mau, setiap peserta pendidikan di lembaga ini tidak akan dapat menghindar dari percakapan tentang memiliki dan mewujudkan mimpi. Bahkan, sejak hari pertama mengikuti kelas, saya sudah mendapatkan pengalaman berharga soal merencanakan dengan matang mimpi studi lanjut saya. Kala itu saya seketika sadar bahwa saya tidak benar-benar serius untuk memiliki dan mewujudkan mimpi studi lanjut. Buktinya, Future Plan saja saya tidak miliki lalu bagaimana mungkin dapat secara sistematis mengatur seluruh usaha untuk merealisasikan mimpi melanjutkan studi? 

Menurut saya, Test English School merupakan tempat yang tepat dalam mempersiapkan diri, tidak hanya berkaitan dengan keterampilan berbahasa Inggris Akademik, namun sekaligus untuk menanamkan ketiga faktor penting di atas dalam proses mencari jalan mewujudkan mimpi studi lanjut. Memang benar bahwa Test English School tidak mungkin menjadi sebuah tempat yang serba ideal. Ada bermacam-macam karakter, perilaku, serta kelebihan dan kekurangan di tempat itu. 

Namun, justru kondisi yang betul-betul memperlihatkan gambaran riil kehidupan keseharian di mana kelebihan dan kekurangan saling mengiris ialah laboratorium hidup yang tepat dalam melakukan refleksi, mengasah empati, membina jejaring yang saling tolong-menolong, sambil terus mengenal bakat dan membentuk sikap. Di situlah letak kekuatan Test English School yaitu menjadi sebuah laboratorium kehidupan yang membantu pejuang mimpi mendapatkan tiga faktor kunci dalam memiliki dan mewujudkan mimpi. Test English School memperlihatkan bahwa sinergisitas, lembaga ini menyebutnya “Kolaborasi bukan Kompetisi”, ialah denyut fundamental di rumah para pemimpi yang memburu beasiswa tersebut.

Albert Josua Putera Maliogha
Mahasiswa Magister pada Sekolah Teologi, Boston University, Penerima Beasiswa LPDP

Photo: International Student Association, School of Theology, Boston University