Dari TEST English School, hingga menjadi Awardee Beasiswa LPDP

Dari TEST English School, hingga menjadi Awardee Beasiswa LPDP

If you don’t design your own life plan, chances are you’ll fall into someone else’s plan. And guess what they have planned for you? Not much… –Jim Rohn-
We Speak Scholarship adalah motto yang selalu digaungkan setiap hari. Setelah berdoa sebelum belajar pagi, mantra itu wajib dirapal semua pemburu beasiswa. Semua memiliki energi positif yang sama. ‘Satu frekuensi’ istilah kerennya. Rekaman ingatan mulai dari pagi hari dibangunkan oleh teman sekamar, kemudian bergegas mengantri kamar mandi, masuk ke dalam ruangan kelas yang berukuran 4 x 5, mengambil kertas jawaban IELTS, kemudian mulai menjawab soal-soal IELTS. Itu adalah aktivitas wajib di pagi hari. Rutinitas yang akhirnya menjadi bagian dari kisahku untuk mendapatkan beasiswa LPDP. Kampung Inggris Pare Kediri, Jawa Timur.

Pertama kali datang ke TEST English School ada tanggal 9 November 2015. Saya dan Yushra, teman angkatan yang mengajak saya untuk menimba ilmu ke Kampng Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur. Awalnya saya agak skeptis dengan pilihan ini. Tapi karena saya ternyata tipe orang yang malas belajar kalau sendirian. Sehingga buku-buku TOEFL yang saya miliki sangat jarang saya baca. Saya hanya menyisihkan waktu 1 hingga 2 jam untuk belajar intensif, sisanya? Main youtube, buka blog, main facebook, dan lain-lain. Akhirnya pilihan untuk hijrah ke Kampung Inggris menjadi semakin kuat.

Kereta proletar K.A Brantas bergerak meninggalkan Jakarta. Saya menatap jendela berkali-kali. Ini adalah pertaruhan saya untuk mendapatkan beasiswa. Uang pesangon dari kantor setelah resign, saya gunakan untuk membiayai segala perjalanan dan persiapan saya. Pagi pun tiba, plang Stasiun Kediri menjadi hal yang pertama kali saya liat pagi itu. Kami bergegas mencari angkutan menuju TEST English School yang terletak di Jalan Brawijaya. Ketika menuju sana, saya melihat replika Arc De Triomphe yang terkenal di Perancis berada di persimpangan lima.

Pertama kali tiba di kantor pendaftaran, saya merasa kecewa. Apa pasal? Ternyata kelas TOEFL sudah penuh dan tak ada kuota lagi. Saya terpaksa masuk ke dalam kelas IELTS November. Ah apa-apaan ini? Saya ingin belajar TOEFL bukan IELTS. Saya membatin berkali-kali. Tapi tetap saja saya menjalani kelas IELTS, semoga ini bukan pilihan yang salah, pikirku saat itu.

Masuk ke dalam asrama untuk pertama kalinya, saya hanya dipasangkan dengan satu orang perempuan. Namanya Elvina, namun saya lebih suka memanggilnya Erin. Ibu Kost yang ramah, kost yang bersih dan penghuni kost yang bersahabat menjadi salah satu faktor penting disini. Saya sungguh beruntung.

Perkenalan pertama kami diminta untuk menyebutkan target IELTS yang ingin dicapai. Saya yang masih awam mengenai IELTS dengan asal-asalan menyebut angka 7.5. Subhanallah! Dari perkenalan tersebut saya mengetahui ada beberapa anak lama dan anak baru seperti saya. Gerilya untuk mendapatkan teman langsung saya lakukan. Mulai dari teman laki-laki yang terlihat seru untuk diajak berdiskusi. Hingga teman perempuan yang memiliki senyum manis.

Bulan pertama saya habiskan untuk mengenal IELTS dengan baik. karena saya tidak pernah menyentuh soal IELTS sama sekali. Tipe soal yang sangat berbeda jauh dengan TOEFL membuat saya tergagap-gagap. Beberapa kali score saya hanya menunjukkan angka 5.5, tapi lama kelamaan saya berhasil meningkat. Score tertinggi yang pernah saya dapatkan adalah 7.0, itupun dengan susah payah.

Bagian terseru dari kelas IELTS adalah kompetisi tak terlihat antara saya dan beberapa teman. Kami berusaha mendapatkan nilai tertinggi saat scoring. Tapi tetap saja ada satu laki-laki yang nilainya tak tertandingi. Cipto namanya. Entah dia makan apa, yang pasti nilainya selalu diatas 7.0. kemudian disusul oleh beberapa nama lainnya, seperti Dito, Dewang, Rifqy, Safira, dan lain-lain. Setiap hari progress kita dapat dilihat. Jadi semangat sih.

Yang saya ingat dari TEST English School adalah persahabatan yang tercipta. Saya beberapa kali mengajak teman-teman untuk jalan-jalan. Haha. Agar tidak stress, kataku. Mengingat jadwal belajar di TEST English School sangat padat. Jam 5 pagi kami sudah wajib berada di kelas untuk ikut scoring, jam 7 selesai dan mencari sarapan. Jam 8 masuk kelas kembali untuk membahas soal-soal tadi pagi. Kemudian istirahat sebentar, dan masuk kelas lagi pukul 10 hingga adzan dhuhur menjelang. Kelas dilanjut pukul 13 hingga pukul 15. Istirahat sebentar kemudian masuk lagi pukul 16 hingga pukul 17. Malam hari masih ada kelas listening. Capek kan? Haha. Jadi jangan heran saya selalu mengajak teman-teman untuk sekedar hangout.

Teman-teman sekamar saya di bulan kedua, kami membuat banyak kenangan bersama. Nuha, Sari, Nurul, Indari dan Putri. Perjalanan kabur kami ke Malang menjadi salah satu perjalanan seru kami, belum lagi ke Candi Surowono, ke pusat perbelanjaan, mengulik kuliner-kuliner di Pare, belanja sarapan, dan lain-lain.

Ketika menginjak bulan kedua, semakin banyak murid yang mengundurkan diri untuk tidak naik ke tahap kedua. Kami diminta untuk membuat Life Plan. Rancangan ini wajib dibuat bagi anak-anak IELTS jika ingin naik ke tahap Study Class. Ternyata Life Plan ini sangat bermanfaat ketika saya ingin membuat Essay Sukses Terbesarku dan Rencana Studi untuk beasiswa LPDP. Saya tak perlu repot-repot membuat life plan lagi. Hehe.

Persahabatan saya dengan teman-teman IELTS tidak berbatas dengan teman angkatan, tapi lintas angkatan. Saya jadi mengenal banyak orang dengan mimpi yang sama. Mengejar beasiswa. Semua orang saling menyemangati mimpi. Saya bangga pernah menjadi bagian dari TEST English School. Arigatou minna-san. Semoga semua orang bisa mencapai mimpinya. Aamin ya rabbal alamin. Kampung Inggris.

Belajarlah dari Trump, disaat semua orang mencemoohnya bahwa ia tidak akan jadi presiden, ternyata ia berhasil menjadi presiden Amerika Serikat ke-45. Tetap bermimpi tinggi!

Atrasina Adlina
Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia – MDPI
Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia
Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan
Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia
Universitas Hasanuddin,

Global Environment University of Colorado Boulder
Global Environmental Issues University of Hawaii at Manoa